GfWlGUW8TfGiBSGiTUW0GfGlGA==

Makna Sebuah Titipan, Antara Whatsapp Story Seseorang dan Puisi W.S Rendra

Makna Sebuah Titipan

"Ketika kamu takut kehilangan, sebenarnya kamu sedang lupa bahwa hakikatnya tak ada satupun yang kamu miliki, bahkan dirimu pun bukan milikmu." 
(Whatsapp Story Seseorang)

Seringkali aku tidak menyadari tentang hakikat kepemilikan. Sesuatu yang aku dapatkan secara susah payah dengan usaha dan kerja keras, sudah pasti adalah milikku. Aku berhak atas apa yang aku miliki.

Entah buku apa yang ku baca. Podcast apa yang ku dengar. Tayangan seperti apa yang telah ku tonton. Dan orang macam apa yang telah ku ajak bicara dan bertukar pikiran.

Sehingga aku memiliki pemikiran semacam ini. Kepemilikan adalah harga utuh atas apa yang aku miliki.

Aku teringat potongan puisi W.S Rendra yang berjudul "Makna Sebuah Titipan".

....
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
bahwa itu adalah derita
... 
(W.S Rendra - Makna Sebuah Titipan)

Di saat aku kehilangan sesuatu dalam hidup. Seringkali aku merasa kecewa teramat dalam. Sedih dan larut dalam perenungan panjang. Kadang aku berpikir, mengapa Allah memberiku ujian atau musibah seperti ini.

Mengapa aku kehilangan ini, mengapa aku kehilangan itu. Kenapa aku tak bisa meraih ini, kenapa aku tak bisa meraih itu. Mengapa dan kenapa, dua pertanyaan yang kerap kali memberontak dalam diamku.

***

Aku menafsirkan setiap kehilangan adalah derita, setiap mimpi dan keinginan yang tak bisa ku gapai adalah petaka. Bahkan dengan bodohnya aku pernah merasa kehilangan atas sesuatu hal yang belum aku miliki. Sesuatu yang masih dalam angan-angan, sesuatu yang masih bernama keinginan.

Aku memiliki ini, aku memiliki itu, ini milikku, itu milikku. Hidup yang hanya bergulat dengan rasa kepemilikan tak ubahnya orang bodoh yang berpikir bahwa ia akan hidup untuk selamanya. Sial dan lucunya aku pernah terjebak dalam kondisi semacam itu.

Bahkan mungkin sekarang, saat perlahan aku mulai belajar tentang rasa ikhlas. Aku belajar tentang kepemilikan yang semu. Tentang dunia yang hanya sementara, dan hidup tak ubahnya hanyalah menunggui kematian belaka. Aku masih memiliki rasa takut kehilangan.

...
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan ku tolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua derita adalah hukuman bagiku.
.... 
(W.S Rendra - Makna Sebuah Titipan)

Sehingga setiap kali aku berdoa kepada Allah, aku lebih banyak meminta rasa senang dan kebahagiaan. Alih-alih aku meminta untuk dikuatkan dari rasa sakit akan penderitaan yang mungkin menimpaku. Aku mestinya sadar dari dulu bahwa manusia tidak akan pernah luput dari yang namanya penderitaan dan kesedihan.

Aku mestinya menyadari dari dulu, meminta dikuatkan adalah doa yang jauh lebih baik daripada meminta segala kesenangan dunia. Meminta agar lapang menerima segala takdir yang diberikan jauh lebih baik daripada meminta agar dihindarkan dari takdir yang buruk.

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. 
(HR. Al-Bukhari no. 5213)

Aku harus menanamkan kuat-kuat dalam hatiku bahwa ujian adalah cara Allah untuk menjadikanku mulia dan pantas berada di sisi-Nya.

***

Kehilangan, apa pun itu. Hakikatnya bukan berarti benar-benar hilang. Karena sejak awal kita tidak pernah memiliki apa-apa. Kita hanya dititipkan, bukan di berikan.

Titipan adalah kepemilikan sementara yang pada satu waktu, kapan saja berhak diambil kembali oleh pemilik-Nya.

Akan tetapi, walaupun aku sudah belajar mengenai hakikat keikhlasan, seringkali masih saja terpikirkan bahwa aku pantas mendapatkan imbalan atas semuanya. Karena aku telah melaksanakan apa yang telah Ia perintahkan kepadaku, dan menjauhi larangan-Nya. Aku teramat keliru, menghitung keadilan dan kasih sayang-Nya hanya dengan logika dunia.

....
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti
matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknya derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan kekasih,
kuminta Dia membalas "perlakukan baikku",
dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
.... 
(W.S Rendra - Makna Sebuah Titipan)

Astagfirullah... Begitu kerdil dan sempitnya pikiranku. Mengapa aku meminta sesuatu yang tidak kekal, sesuatu yang dapat musnah, kepada Ia yang maha kuasa dan maha tak terbatas. Mengapa aku memperlakukan-Nya seolah Dia mitra dagang bagiku. Dengan bodohnya, aku justru meminta imbalan-imbalan dunia kepada-Nya, bukan meminta cinta dan kasih-Nya.

Padahal, sedikitnya lima waktu dalam sehari aku menghadap-Nya. Aku mengatakan kepada-Nya, "wamahyaya wamamati lilahi robbil alamin". Sesungguhnya hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Ya, rasanya seringkali aku mengingkari kalimat itu. Aku mesti kembali belajar tentang rasa ikhlas, tentang apa hakikat kepemilikan, tentang rasa syukur, dan tentang mengolah rasa cinta kepada-Nya. Karena bahkan tubuh yang aku miliki ini, bukanlah benar-benar milikku. Sekali lagi, ini semua hanyalah titipan.

Tubuhku ini hanyalah titipan. Sebuah medium bagi jiwa untuk hidup di dunia. Sejak dulu aku telah diajarkan bahwa setiap dari anggota yang ada di tubuh ini, kelak akan menjadi saksi atas apa yang telah aku lakukan. Kebaikan atau keburukan. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.

...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
... 
(W.S Rendra - Makna Sebuah Titipan)




NB: Tulisan ini terinspirasi dari whatsapp seseorang dan puisi W.S Rendra yang berjudul "Makna Sebuah Titipan" .


Sumber gambar : Photo by Leone Venter on Unsplash

0Komentar

Special Ads
Special Ads